15 Feb 2013

Konspirasi Asing Terhadap Krisis di Palestina


Konspirasi Inggris



Pada bulan Desember 1917 pemilikan atas Yerusalem berpindah tangan, ketika tentara Inggris di bawah pimpinan Panglima Tertinggi Allenby merebut kota itu. Pada hari-hari itu seorang warga Inggris, ahli kimia Yahudi yang terkenal bernama Chaim Weizmann, memberi sumbangan yang sangat penting kepada usaha perang dari Inggris. Ini ikut menyebabkan dikeluarkannya Deklarasi Balfour, dengan mana pemerintah Inggris menyetujui didirikannya tanah air Yahudi di Palestina. Bertahun-tahun kemudian, pada bulan Mei 1948, setelah perang antara Arab dan Yahudi, Republik Israel didirikan. Chaim Weizmann yang terkenal itu menjadi presidennya yang pertama, tetapi bukan raja dari keturunan Daud. Ia tidak memenuhi syarat sebagai Wakil Utama Allah.Isi perjanjian Balfour :
Foreign Office
November 2nd, 1917
Dear Lord Rothschild,
I have much pleasure in conveying to you, on behalf of His Majesty's Government, the following declaration of sympathy with Jewish Zionist aspirations which has been submitted to, and approved by, the Cabinet.
"His Majesty's Government view with favour the establishment in Palestine of a national home for the Jewish people, and will use their best endeavours to facilitate the achievement of this object, it being clearly understood that nothing shall be done which may prejudice the civil and religious rights of existing non-Jewish communities in Palestine, or the rights and political status enjoyed by Jews in any other country."
I should be grateful if you would bring this declaration to the knowledge of the Zionist Federation.
Yours sincerelys,
Arthur James Balfour

Posisi Inggris dalam Campur Tangan Masalah Palestina
Upaya Perlawana Rakyat Palestina, Arab dan Islam
“Aku berikrar dan mengakui seribu kali kepada Sir Percy Cox wakil Britania Raya, tidak ada halangan bagiku (sama sekali) untuk memberikan Palestina kepada Yahudi atau yang lainnya sesuai keinginan Inggris, yang mana aku tidak akan keluar dari keinginan Inggris sampai hari kiamat.” (Shafahat min Tarikh Al-Jazirah)
• Khairi Hamad, A’midah Al-Isti’mar
• Nashir As-Sa’id, Tarikh Ali Saud
• Abu Al-Ali At-Taqwa, Al-Firqah Al-Wahabiyah fi Khidmati man: 29.
(Harian Washington Post tgl 19/91969, penjelasan Raja Saudi itu diterjemahkan oleh koran-koran Arab, di antaranya harian Al-Hayah Al-Bairutiyah)

Krisis Palestina mulai menginternasional di masa modern sejak pemerintahan khalifah Utsmaniyah yaitu Abdul Hamid. Saat itu, para pemuda Yahudi dengan bantuan Negara-negara barat, terutama Inggris, berusaha keras untuk mewujudkan tempat bermukim bagi mereka di daerah Palestina. Mereka berupaya untuk memicu timbulnya krisis keuangan di Negara Khilafah Ustmaniyah. 
Hertzl, pemimpin senior Yahudi saat itu, pada tahun 1901 M menawarkan sejumlah uang kepada bendahara Negara Khlilafah Ustmaniyah sebagai imbalan atas rencana tersebut. Namun, Khalifah Abdul Hamid menolak tawaran Hertzl mentah-mentah. Lemahnya Negara Utsmaniyah, di mana Palestina berada di bawah pemerintahannya (1516-1917), berperan dalam keberhasilan proyek Zionis untuk menduduki Palestina. Pembentukan Negara Israel ini mendapat dukungan kuat dari Inggris. Pada tahun itu juga, Inggris menetapkan sebuah perjanjian yang disebutnya dengan perjanjian Balfour, Isi perjanjian itu adalah, bahwa Inggris menjanjikan kepada Yahudi untuk dapat menduduki palestina dan mendirikan Negara bagi mereka di sana. Ketika perang dunia I berakhir dan Negara Khalifah telah diruntuhkan, muncul negara-negara pemenang (Liga Bangsa-bangsa) yang berperan menetapkan pemberian mandat Inggris atas Palestina tahun 1922 M. Isinya antara lain Inggris akan merealisasikan Perjanjian Balfour. Inggris mulai mengambil langkah yang melapangkan jalan bagi Yahudi untuk memasuki Palestina dari berbagai penjuru dunia. Inggris juga melatih dan mempersenjatai mereka. Usai perang dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan pembagian (daerah Palestina) melalui resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum dengan nomor 181 pada tanggal 29 oktober 1947. Keputusan tersebut membagi dua Palestina, antara penduduknya dan kaum pendatang Yahudi. Setelah Inggris berhasil menyelesaikan persoalan tersebut, mereka memutuskan untuk menyerahkan sebagian besar wilayah Palestina kepada Yahudi dan mendirikan sebuah Negara bagi mereka. Inggris telah merancang sebuah skenario kasat mata yaitu mewujudkan perang yang direkayasa, antara para penguasa Arab yang juga menjadi kaki tangan mereka –saat itu ada tujuh penguasa-dengan Yahudi. Perang tersebut dirancang dengan alasan untuk mencegah Yahudi mendirikan negaranya. Tujuannya adalah, agar hasil akhir perang bisa menunjukkan bahwa yahudi berhasil memukul mundur pasukan gabungan tujuh Negara Arab. Inggris memberikan dukungan berupa kekuatan dan keberanian kepada Yahudi. Begitulah manfaat dari persekutuan para “kaki tangan” Inggris yang bertujuan agar setelah peristiwa itu Yahudi dapat menyatakan dirinya berhasil mengalahkan pasukan gabungan tujuh Negara Arab. Mereka menyebutnya sebagai perang kemerdekaan, dan akhirnya mereka mendeklarasikan sebuah negara pada tanggal 15 Mei 1948. Segera setelah itu mereka mencari pengakuan Negara-negara Barat atas berdirinya negara Yahudi. Negara-negara besar saat itu seperti Amerika, Inggris, dan Perancis berlomba-lomba memberi pengakuan. Negara-negara Barat yang secara de facto bercokol di wilayah tersebut terutama Inggris dan Amerika, bersama-sama merumuskan resolusi untuk masalah Palestina, yang dikemudian hari mereka namakan sebagai “Krisis Timur Tengah”. Seluruhnya ditujukan untuk melayani kepentingan negara-negara Barat itu, dengan cara mewujudkan berdirinya negara Yahudi serta memelihara eksistensinya dikawasan Timur Tengah, yang berdampak pada ketidakstabilan kehidupan negara-negara Arab dan umat Islam. Dengan kondisi serba sulit yang dialami oleh bangsa Palestina setelah perang dunia I, kondisi keterpurukan dunia Arab yang berada disekelilingnya-dan dunia Islam secara umum-karena cengkeraman penjajah, kelemahan potensi-potensi material, tidak adanya instrument penekan, kekuatan politik yang lemah bila dibandingkan dengan apa yang dinikmati oleh proyek Zionis dari dukungan Yahudi internasional, dan perlindungan yang diberikan oleh Negara-negara super power; maka sesungguhnya komitmen dengan hak mereka yang sempurna di Palestina dan persistensi merebut kemerdekaan mereka walau dengan biaya apa pun, menjadi trade-mark aktivitas jihadi rakyat Palestina sepanjang periode penjajahan ini. Disamping merebaknya pembantaian terhadap rakyat Palestina, upaya penghancuran masjid suci Al-Aqsha juga menjadi perhatian seluruh umat. Berbagai aksi perlawanan terus berlanjut mewarnai hari-hari Palestina, baik perlawanan secara diplomatis maupun secara militer. Anak bangsa ini terus memikul beban-beban hidup yang terlalu berat. Bangsa Palestina juga sudah merasakan redupnya dukungan negara-negara Arab dari segi persenjataan dan pelengkapan perang lainnya sampai pada level yang menyedihkan. Namun demikian, mereka berhasil menanamkan kegelisahan, kegoncangan, dan ketakutan dalam diri Yahudi untuk masa yang lama. Sebenarnya militansi rakyat Palestina, bangsa Arab dan Islam dalam jihad dan pengorbanan adalah sangat besar. Namun, kepemimpinan politis dan militernya tetap saja menjadi faktor kegagalan. Sebagai contoh, pergerakan Ikhwanul Muslimin (IM) Mesir yang ikut berpartisipasi besar-besaran untuk menyelamatkan Palestina. Pada tahun 1948, Syahid Hasan al-Banna menyukarelakan darah sepuluh ribu IM sebagai kloter pertama masuk dalam kancah peperangan melawan penjajah Zionis. Tapi pemerintahan Mesir terus menekan dan mempersempit ruang gerak mereka dengan cara melarang bepergian kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas. Tak jarang dari kalangan Rakyat Palestina sendiri pun setelah meletusnya intifadhah terus melakukan aksi-aksi perlawanan bersenjata. Mereka tidak memiliki pilihan lain untuk melakukan aksi tersebut karena Zionis Yahudi telah menjajah mereka dengan cara yang paling keji. Maka mulailah ijtihad perlawanan rakyat Palestina yang dikenal dengan aksi Istisyhadiah sebagai bentuk perlawana terakhir yang mampu membuat gemetar Zionis Yahudi bila mendengar aksi tersebut.

Konspirasi Salafi Wahabi dan Inggris atas Terjajahnya Palestina



Dalam bukunya Shafahat min Tarikh al-Jazirah DR. Muhammad Awadh Al-Khathib memaparkan bukti-bukti konkret tentang terlalu tampaknya pembelaan Wahabi dalam berbagai kasus yang terkait dengan kepentingan Inggris dan Yahudi kala itu. Salah satu indikasinya adalah ketika dilangsungkan Kongres Dunia Islam pada 1926, para ulama dan utusan dari negara-negara dunia Islam mengusulkan untuk membersihkan kawasan Timur Tengah-seperti Palestina, Syiria, Irak, dan semenanjung Jazirah Arab-dari pengaruh asing, namun ulama Wahabi menolak usulan negara-negara dunia Islam tersebut. (Shafahat min Tarikh Al-Jazirah: 240-248)Bukan suatu yang aneh jika Salafi Wahabi selama ini bungkam seribu bahasa dengan keberadaan Yahudi di Palestina dan segala kejahatan yang mereka lakukan terhadap umat Islam di negeri yang terampas dan terjajah itu. Sejak awal, Salafi Wahabi sudah mengamini”penggadaian” negeri Palestina kepada Inggris untuk diberikan kepada orang-orang Yahudi. Dalam Muktamar al-Aqir tahun 1341 H di distrik Ahsaa telah ditanda tangani sebuah perjanjian resmi antara pihak Wahabi dengan pemerintah Inggris. Tertulis dalam kesepakatan itu kalimat-kalimat yang ditorehkan oleh pemimpin Wahabi berbunyi : Surat perjanjian itu ditanda tangani oleh Raja Abdul Aziz. Selain itu, utusan Wahabi juga telah datang menghadiri “Muktamar tentang tempat Hijrah Bangsa Yahudi ke Palestina”. Dalam muktamar itu, penasihat Wahabi , Syaikh Abdullah Philippi (kolonel Jhon Philippi)-seorang orientalis penasihat kerajaan Saudi, yang juga bertugas sebagai guru politik bagi Raja Faishal Ibnu Abdul Aziz sejak berusia 12 tahun-mengusulkan untuk memberikan Palestina kepada bangsa Yahudi dengan imbalan kemerdekaan bagi seluruh negara-negara Arab. Dalam muktamar tersebut, Wahabi menyetujui kesepakatan rencana itu. Ini adalah pengakuan Jhon Philipi sendiri dalam bukunya “40 ‘Am fi Jazirah Al-Arab”. Termaktub juga dalam buku tersebut : Ketika kecamuk perang Palestina 15 Mei 1948 masih saja berlanjut, Wahabi sangat khawatir jika perang berujung pada kemenangan persatuan negara-negara Arab yang diketuai oleh Mesir dalam merebut Palestina dari tangan Israel. Kondisi itu akan mengancam eksistensi negara mereka mengingat hubungan mereka dengan Mesir (salah satu provinsi Khilafah Turki Utsmani saat itu) sangat tajam, karena klan Saudi dianggap telah merongrong kedaulatan Khilafah Turki Utsamni bekerja sama dengan penjajah Inggris untuk mendirikan negara baru. Maka pada pagi hari tanggal 7 Januari 1949, secara diam-diam, pimpinan Wahabi menghubungi perwakilan Amerika dan Inggris di Kota Jeddah untuk meminta bantuan agar peperangan Palestina segera diakhiri dengan perundingan damai antara Arab dan Israel. Arsip dokumen tentang pembicaraan antara perwakilan Amerika dan Inggris di Jeddah bersama Wahabi tentang permohonan bantuan kepada Amerika dan Inggris ini tertanggal 8 Kanun ats-Tsani 1949. Arsip dokumen tersebut baru diungkap dan diberitakan secara resmi oleh Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat setelah 30 tahun berlalu. (Dikutip oleh DR. Muhammad Awadh Al-Khathib dalam bukunya Shafahat min Tarikh al-Jazirah: 240-248)Bahkan Abdullah Jhon Philipi selaku penasehat Saudi mengakui dalam bukunya, 40 Tahun di Jazirah Arab (40 Aman fi al-Jazirah al-Arabiyah) : “Masa depan Palestina, semuanya, bagi pemimpin mereka (Wahabi) tergantung sahabat Inggris yang mulia. Inggris akan berbuat semaunya dan pimpinan Wahabi hanya patuh dan taat.Ketika pecah perang yang dilancarkan Israel pada bulan Juni 1967 kepada sebagian negara-negara Arab dengan dukungan Amerika dan Eropa Barat, pemimpin Wahabi yang baru datang dari negara-negara Barat itu menyampaikan pidato pada tanggal 6 Juni sebagai berikut :“Wahai saudara-saudaraku, aku (baru saja) datang dari saudara-saudara kalian di Amerika, Britania, dan Eropa. Kalian mencintai mereka, dan mereka pun mencintai kalian….”Pada tahun 1969, saat diwawancarai koran Washington Post,pemimpin Wahabi mengakui adanya kedekatan dan hubungan khusus antara mereka dengan bangsa yahudi, lalu berkata :“Sesungguhnya kami dengan bangsa Yahudi adalah sepupu. Kami tidak akan rela melemparkan mereka ke laut sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang, melainkan kami ingin hidup bersama mereka dengan penuh kedamaian.”Mereka mengucapkan kalimat-kalimat seperti itu bukan hanya sekali, yang menandakan adanya hubungan emosional dan kemesraan khusus dengan bangsa Yahudi dan Barat. Pada tanggal 15 Juni 1975, pemimpin Wahabi mengatakan, “Kami sangat siap untuk mengakui Israel… tetapi Israel harus menyelesaikan dulu masalahnya dengan para tetangganya dan merapikan urusannya dengan Palestina.” Ketika ditanya maksud dari ucapannya tentang “merapikan” urusannya (tadabbur al-amr)”,pemimpin Wahabi itu menjawab diplomatis, “Israel lebih tahu tentang urusan itu (Isra’il adra bi syu’uniha). "Oleh karena itu, tidak aneh jika ulama-ulama Wahabi juga menyuarakan hal yang sama tentang Israel, seperti fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin,al-Albani, dan ulama mereka yang laainnya. Silakan di lihat dalam fatwa Bin Baz yang membela kepentingan Yahudi, misalnya, yang dimuat di Koran al-Muslim tanggal 19 Sya’ban 1415/20 Januari 1995. Atau silakan lihat di buku Majmu Fatawa al-Allamah Abdul Aziz ibnu Baz, penyusun Muhammad ibnu Saad asy-Syuwai’r,Dar al-Ifta, h.227-229."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar